TANGERANG |
Mufasir atau penafsir Alquran muda dituntut benar-benar mampu memahami kaidah
tafsir. Keberadaan mufasir muda dibutuhkan karena kemampuan mereka akan
membantu menerapkan Alquran untuk mengatasi permasalahan kehidupan.
Direktur Pusat
Studi Alquran (PSQ) Prof Dr HM Quraish Shihab menekankan pentingnya kaidah
tafsir dipahami para mahasiswa yang belajar ilmu tafsir.
Menurutnya, banyak
sarjana maupun master ilmu tafsir yang masih belum bisa dianggap sebagai
mufasir. Sebab, mereka tak menguasai kaidahnya.
“Mereka baru
mempelajari pendapat mufasir lain terhadap makna suatu ayat Alquran,” kata
Quraish dalam diskusi dan peluncuran buku Kaidah Tafsir dan Buku Alquran dan
Maknanya di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (17/7).
Dalam
pandangannya, mufasir itu orang yang memiliki wewenang memberi makna baru
terhadap penafsiran yang sudah ada. Kaidah tafsir dapat membantu mereka
mencapai hal tersebut.
Menurut Quraish,
kaidah ini tak hanya berlaku pada satu masa, tetapi setiap masa. Itu juga
menghadirkan makna baru yang selama ini belum dipahami umat.
Karena itu,
Quraish berharap kaidah tafsir yang ada sekarang ini bisa memberi peluang dan
ruang para mufasir baru dan muda.
Sebab, merupakan
kaidah memberi rambu dalam memahami dan menafsirkan Alquran. Penting juga bagi
umat Islam memahami kaidah tafsir ini karena memberi kesempatan bagi mereka
memahami Alquran.
Menurutnya,
kaidah tafsir bagai pedoman agar umat Islam tidak terjerumus dalam kesalahan
memaknai Alquran.
Sedangkan,
Direktur Sofia Institut dan dosen Ilmu Tasawuf dan Filsafat Universitas
Paramadina, Muhammad Baqir, mengungkapkan, kelemahan mahasiswa ilmu tafsir saat
ini, mereka belajar tafsir, tapi tidak berorientasi menjadi mufasir.
“Karena itu,
butuh menggodok kemampuan akal untuk menafsirkan menjadi skill atau kemampuan
berstandar mufasir,” kata Baqir menjelaskan.
Ia juga
mengingatkan mahasiswa ilmu tafsir jangan menggabungkan metode hermeneutika
dengan tafsir. Kelemahan hermeneutika dunia Barat selama ini terlalu banyak
memaknai ayat yang melibatkan sisi humanis dan meninggalkan sisi ketuhanan.
Karena itu,
Baqir mengungkapkan, mufasir harus melibatkan jiwa spiritualnya dalam memaknai
ayat, jadi bukan hanya didasari pada akal.
“Penafsir harus
membersihkan jiwa sebelum menafsirkan suatu ayat agar tidak mengotori
penafsirannya.” Ia menegaskan, tidak semua orang bisa menafsirkan Alquran. Maka
dari itu, dibutuhkan orang-orang yang ahli dan murni jiwanya.
Dekan Fakultas
Ushluhuddin UIN Bandung Prof Dr Rosihan Anwar menambahkan, keberadaan kaidah
tafsir ini akan menjawab kegelisahan umat Islam mengenai bagaimana memahami
ayat-ayat Alquran.
Ia juga
mengingatkan, mestinya penafsiran Alquran tak hanya mengandalkan akal pikiran
si penafsir. Hal ini akan mencegah terjadinya penafsiran yang menyesatkan.
Write a comment
Catat Ulasan