Pada pembukaan
Kongres kelima Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama, Ketua Umum PBNU
KH Said Aqil Siroj meminta para penghafal, pembaca, dan pengkaji Al-Qur’an di
kalangan NU jangan sampai jatuh pada hadits Nabi yang artinya: “membaca
Al-Qur’an hanya sampai di tenggorokan”.
Ungkapan itu,
maksudnya tiada lain adalah orang yang membaca Al-Qur’an, tapi pemahamannya
tidak sampai di hati dan praktik.
Karena itulah,
para ahli Al-Qur’an NU harus bisa memahaminya sebagaimana para ulama terdahulu.
Sebab, jika keliru akan berakibat fatal. Misalnya dalam memahami kata kafir,
jika salah, akan berakibat terkucurnya darah seseorang atau sekelompok orang.
Abdurrahman bin
Muljam misalnya, adalah orang yang memahami ayat Al-Qur’an dengan cara salah.
Sayidina Ali, sahabat dan sekaligus menantu Nabi Muhammad yang termasuk
kalangan pertama memeluk Islam, dianggap kafir karena dianggap tidak
menggunakan hukum Allah berdasarkan ayat Al-Qur’an. Darah pun terkucur.
Grand Syekh
Al-Azhar saat berkunjung ke PBNU pada awal Mei Tahun ini mengajak umat Islam
untuk tidak mengkafirkan orang yang masih bersyahadat dan menghadap kiblat.
Apalagi karena berbeda pilihan partai politik.
Ada mekanisme
tertentu untuk menyebut orang sebagai kafir. Kalaupun iya seseorang jelas
kafir, ada mekanisme tertentu dalam memeberikan hukum kepadanya. Tidak gampang.
Bahkan di dalam
Al-Qur’an sendiri, dalam konteks tertentu, kafir ada yang bermakna menimbun
biji di dalam tanah. Ada juga yang bermakna, seseorang yang tidak mensyukuri
nikmat.
Bagaimana
sebetulnya cara memahami Al-Qur’an itu agar tidak jatuh pada penafsiran yang
salah? Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarai pakar Al-Qur’an,
seorang ahli dalam qiraah sab’ah, penghafal Al-Qur’an, pemimpin pondok
pesantren Al-Qur’an, doktor lulusan di Madinah dengan hasil cum loude, yaitu KH
Ahsin Sakho Muhammad, di Pondok Pesantren Asshidiqiyah Karawang, 15 Juli lalu.
Reputasinya dalam
bidang Al-Qur’an diakui banyak orang. Dia pernah menjadi Rektor Institute Ilmu
Al-Qur’an (IIQ), dosen tafsir di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ).
Tak heran
kemudian, para ahli Al-Qur’an di NU mempercayakan posisi Rais Majelis Ilmi
Pimpinan Pusat Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama kepadanya. Bahkan
beberapa periode hingga hari ini.
Berikut
petikannya:
Bagaimana JQHNU
mendidik penghafal dan pengkaji Al-Qur’an agar tidak jatuh pada ungkapan dari
Nabi Muhammad "ada orang membaca Al-Qur'an hanya sampai pada
tenggorokan"?
Al-Qur’an kitab
yang rahmatan yang lil alamin. Jangan melihat Al-Qur’an dengan satu mata saja.
Melihat Al-Qur’an harus secara menyeluruh. Jangan memahami Al-Qur’an seenaknya
sendiri, tidak menggunakan dan melihat yang lain-lain, misalnya asbabun nuzul.
Jangan menggunakan satu dalil saja, misalnya dalam masalah hukum: inil hukmu
ila lilllah {Sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah (Yusuf ayat 40)}. Jangan
Itu saja. Misalnya lagi, apakah mereka akan mencari hukum jahiliyah pada ayat,
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih
baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50).
Jika hanya
menggunakan ayat itu, selain hukum Islam, berarti hukum jahiliyah. Nah, begitu
kan. Sekarang di Indonesia itu hukumnya peninggalan Belanda. Berarti kalau
begitu hukum jahiliyah. Orang (yang berpendapat seperti ini) tidak
membeda-bedakan mana hukum bersifat sipil yang merupakan wewenang dari negara,
mana yang merupakan wewenang dari syara. Mereka tidak melihat di Indonesia
adalah negara yang memperbolehkan shalat, haji, wakaf ada, perbankan (syariah)
ada. Apalagi coba? Apakah akan "gedung" itu dihancurkan dulu? Kalau
ada konsep yang tidak cocok, ya itu saja ketidakcocokannya (yang diubah),
misalnya ketidakadilan; bagaimana umat Islam supaya menciptakan orang-orang
baik yang penuh dengan keadilan. Kalau sistemnya dirombak dulu, wah, itu sih
terlalu jauh dan hasilnya juga belum tentu.
Dan begini saja
sudah kehidupan keislaman, islami. Kehidupan islami itu apa? Islam itu luas
sekali berkaitan dengan unsur-unsur kemasyarakatan, kepribadian. Orang yang
hidup di desa, mengerjakan shalat lima waktu, akhlaknya bagus, tidak menyakiti
orang lain; sudah dia hidup dalam kehidupan yang islami; di negara apa saja.
Nah, sekarang orang yang hidup di Amerika, apa negaranya harus dihancurin dulu?
Ini (Indonesia)
adalah namanya darul mu’ahadah (negara hasil perjanjian), darul muwathanah
(negara kebangsaan) negara Indonesia ini. Nabi sendiri pada waktu hidup di
Madinah bersama dengan orang Yahudi dan berbagai suku. Apakah hidup pada waktu
itu disebut hidup di zaman jahiliyah (karena Nabi menggunakan hukum Piagam
Madinah berdasarkan kesepakatan semua elemen)? Kan enggak juga. Jadi
pemahaman-pemahaman seperti inilah yang harus diserap oleh orang-orang yang
masih memiliki pemahaman yang masih dangkal, pemahaman yang dangkal. (Al-Qur’an
dipahami) dari segi lafaznya saja. Ngajinya bagus. Kalau mengajarkan juga
bagus. Tapi pemahaman yang dibaca masih setengah-setengah.
Apa Abdurrahman
bin Muljam yang membunuh Sayidina Ali dengan alasan ayat Al-Qur’an termasuk
orang yang memahaminya setengah-setengah?
Ibnu Muljam, ia
melihatnya Sayidina Ali itu bermusyarawah dalam menentukan hukum; kan (di dalam
Al-Qur'an ada ayat) وَشَاوِرْهُمْ
فِي الأمْرِ (dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, QS Ali
Imran 159). Ia tidak melihat itu. Itu yang bahaya sekali kalau pemahaman
seperit itu. Makanya saya tulis Oase Al-Qur’an, buku saya. Bagian-bagian
pertama inti-inti ajaran Islam itu adanya di sini. Ada enggak surah-suarah
Makiyah (surat atau ayat yang turun di Makkah) menyuruh orang-orang bertindak
seperti itu. Enggak ada.
Orang yang
menafsirkan Al-Qur’an sepotong-sepotong atau setengah-setengah dan tidak
melihat ayat yang lain itu bagaimana?
Wah, itu berarti
dia kesalahan dalam memahami metode menafsirkan karena Al-Qur’an yufassiru
ba’dluhu ba’dlan; Al-Qur’an itu saling menafsirkan satu ayat kepada ayat yang
lain, yaitu perkataan ulama ahli tafsir.
Di dalam ayat
Al-Qur’an ada, fa anzalna dzikra litubayyina linnasi; kami menurunkan kepada
kamu Al-Qur’an ini supaya kamu menjelaskan; jadi ayat Al-Qur’an itu global-global
saja. Bagian Nabi itu adalah menjelaskan. Orang seperti itu, tidak melihat
hadits-hadits Nabi. Orang seperti Ibnu Mujmam. Ada hadits la yahillu, tidak
halal darahnya seorang Muslim kecuali dengan tiga sebab, yang satu qathlu nahs,
membunuh orang lain. Kedua karena zina muhsan, yang ketiga karena murtad. Jadi
tiga itu saja. Kenapa Ibnu Muljam tidak merujuk hadits ini? Orang diperbolehkan
membunuh orang lain itu hanya itu saja. Jadi, ada batasan-batasan tertentu.
Khulafaur
Rasyidin juga banyak hasil musyawarah. Kalau seandainya ada yang diketahui dari
Nabi, langsung dikemukakan. Kalau seandainya tidak diketahui, dimusyawarahkan.
Al-ittifiaqu sahabah, hujjah (kesepakatan para sahabat Nabi bisa dijadikan
dalil). Ada ilmunya begitu.
Itu sudah diprediksi
oleh Nabi, akan ada kelompok orang yang dia itu goyang kaki saja kemudian dia
mengatakan, "saya hanya berhukum dengan Al-Qur’an saja". Kalau begitu
kan salah juga karena Allah percayakan untuk menjelaskan isi kandungan
Al-Qur’an baik melalui qaul (perkataan), maupun fi’li (perbuatan).
Kenapa di awal
sejarah Islam melahirkan orang seperti kan masih dekat dan pernah mengalami
bersama Nabi?
Jadi, setelah
perang Hunain, tahun kedelapan hijriah; itu nabi bisa mengatasi pemberontakan
orang Hunain, Tsaqif. Nabi banyak mendapatkan hewan, untanya banyak, kambingnya
banyak. Kemudian Nabi membagikannya. Semuanya dibagikan. Nabi tidak membawanya
sama sekali. Akhirnya ada orang yang nyeletuk di hadapan Nabi, didengarkan.
"Wah, Nabi enggak beres nih, Nabi enggak adil." Nabi menanggapi;
"Siapa lagi yang adil kalau Rasulullah tidak adil? Kamu tahu tidak, saya
bagikan kepada mereka supaya mereka mau masuk Islam." Nah, (terhadap)
orang yang nyeletuk itu, dikatakan (Nabi), akan muncul dari keturunan orang
itu, yang keras-keras, lupa juga namanya.
Kenapa Nabi
waktu itu dianggap tidak adil?
Karena Nabi
tidak membagikan harta rampasan perang Hunain untuk mereka yang berperang.
Tidak ada yang dibagi. Hanya orang-orang tertentu, sahabat yang tidak ikut
berperang. Sahabat yang ikut perang tidak usah mendapat bagian lagi. Nabi
memahami semuanya. Nabi berkata, “Kamu dulu kafir, siapa yang mengislamkan
kamu.” Semuanya pada nangis. Ya sudah, kami akan berpulang bersama Nabi.
Kemudian, setelahnya itu munculnya Ibnu Muljam dan yang lain-lain karena Nabi
prediksinya seperti itu.
Jika saat ini
orang seperti dia masih ada dan jumlahnya mungkin banyak, apakah mungkin ada
pihak yang membuatnya selalu ada?
Ya, ada, ada.
Jadi, ada kekosongan pada tingkat kelas menengah, yang harus diisi, ada pihak
yang memberikan wejangan kelas menengah. Mereka tertarik pada orang yang bisa
membaca Al-Qur’an, tahu hadits, ceramahnya memikat, akhirnya hijrah. Tapi
kalangan menengah ini tidak mempunya basis pengambilan keputusan dari Al-Qur’an
dan hadits. Jadi akhirnya muncul pemikiran-pemikiran radikal itu. Dan mereka
tidak mempunyai mahaguru yang mengarahkan.
Kembali lagi ke
masalah tadi, apa hikmah Allah dalam membuat Al-Qur’an yang memungkinkan orang
memahaminya secara sepotong-spotong?
Jadi begini ya,
Al-Qur’an itu kan ada konteks turunnya, ada konteks ayat; seperti Al-Maidah 50.
Ini konteksnya mereka yang meminta hukum kepada selain nabi. Konteksnya ini
Yahudi dan Nasrani kemudian kaum Muslimn. Hal yang berkaitan dengan hukum-hukum
Islam mereka ingin mencari hukum lain, selain hukum Islam dalam hal syariat,
seperti orang Yahudi itu. Mereka kalau berzina muhsan (orang yang yang sudah
bersuami atau beristri melakukan zina), mereka ingin mencari agar supaya
hukumannya tidak berat. Kalau hukuman yang sebenarnya itu adalah dirajam. Yang
kedua, hukum yang lain itu cuma dicoreng-corengg saja. Itu berarti orang yang
mencari hukum selain hukum Allah, konteksnya orang Yahudi, Nashrani.
Bahwa di
Indonesia belum bisa seperti itu karena ini kan kesepakatan, daulah
kesepakatan, darul mu’ahadah. Kemudian kita melihat pelaksanaan hukum itu,
berkaitan dengan pidana itu tidak gampang karena berkaitan dengan darah. Di
Indonesia itu kan berbagai macam suku, berbagai macam agama, kesepakatannya
bagaimana? Jadi, kita itu harus yakin bahwa yang terbaik itu hukum Allah, tapi
kalau ada situasi dan kondisi seperti ini, maka tidak harus memaksa seperti
itu.
Kita yang
penting bahwa orang yang salah itu harus dihukum, itu saja. Produk hukumnya
apa? Ya terserah. Ya apa saja. Orang yang mencuri dihukum, korupsi dihukum,
orang zina dihukum. Di Indonesia orang yang berzina tidak dihukum, itu tidak
sesuai. Tapi jangan langsung bahwa ini jahiliyah. Orang kalau ingin amar ma’ruf
nahi munkar, tanamkan dahulu amar ma’rufnya.
Ada empat
tahapan kalau seandainya memberantas kemunkaran akhirnya bisa menghilangkan
kemunkaran itu bagus. Kalau seandainya meminimalisir kemunkaran, itu bagus
juga. Tapi kalau seandainya pemberantasan kemunkaran sama saja, itu jangan.
Kalau seandaianya kita memberantas kemunkaran dan menimbulkan kemunkaran yang
baru, tidak boleh. Haram itu. Ada bagian-bagian khusus pemerintah, polisi, itu
bukan wewenang kita. Jadi, sebagian kelompok di Indonesia menghilangkan
kemunkaran langsung oleh masyarakat; seharusnya kita tekan pemerintah untuk
ikut terjun.
Bagaimana
Abdurrahman bin Muljam memahami wa man lam yahkum bima anzalallah itu?
Salah dia itu.
Salah dia itu. Wa man lam yahkum itu, pertama adalah ayat itu wa ulaika humul
kafirun. Kafir di situ, menurut Ibnu Abbas, kufrun duna kufrin. Artinya bukan
kufur yang sampai orang keluar dari Islam. Tidak. Kata Ibnu Abbas sendiri.
Salah seorang sahabat Nabi itu.
Menghukumi kafir
itu tidak gampang. Apa kita setiap orang mempunyai hak untuk mengkafirkan
orang. Kan tidak gampang. Harus dipanggil dulu. Menurut saudara apa? Kalau dia
mengakui hukum selain Allah lebih hebat, ya sudah, suruh taubat dulu, taubat,
taubat. Setelahnya itu yang harus mengeksekusi siapa? Mahkamah. Sementara
selain mahkamah kita tidak mempunya hak seperti itu.
Tidak boleh
orang bertindak sendiri-sendiri meskipun sandarannya kitab suci?
Tidak boleh.
Tidak boleh. Tidak boleh. Karena ini berkaitan dengan darah. Darah itu yang melakukannya
kekuatan tertinggi, pemerintah. Kalau pemerintah, ya harus melalui
undang-undang. Nabi Sendiri yang melakukannya.
Lalu, kenapa dia
sampai pada pemahaman kafir dalam arti layak untuk dibunuh?
Pengertian kafir
di dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa beberapa arti. Ada kuffar yang artinya
petani. Petani itu menimbun, menutupi biji dengan tanah. Kuffar itu. Ada kuffar
di dalam Al-Qur’an yang berarti kufur nikmat. Itu kufar juga. Lain syakartum
laazidannakum, wa lain kafartum inna adzabi lasyadid. Orang kufur nikmat, kufur
juga, seorang kafir juga. Tapi tidak sampai menjadikan orang itu, kafir yang
keluar dari Islam. Jadi, harus berhati-hati betul. Hati-hati betul. Harus ngaji
dulu tuh; kafir, kafir aja.
Nabi sendiri
menafsirkan atau memahami Al-Qur’an itu bagaimana?
Nabi itu,
menafsirkan Al-Qur’an teks dengan teks itu jarang. Tidak banyak. Yang lebih
banyak, nabi menjelaskan melalui pekerjaannya, melalui fi’ilnya, af’alnya. Oleh
amalinya. Shalat, itu penerjemahan dari Al-Qur’an, semua hukumnya Nabi adalah
yang dia pahami dari Al-Qur’an. Semua sunah nabi itu adalah syarah (penjelasan)
dari kitab-Nya. Nabi tidak secara sepesifik, ngaji kitab tafsir. Kitab tafsir
tidak ada. Jadi, misalnya Nabi mengatakan, fawajada abdan; bilangan rakaat itu
berapa, Nabi yang mengajarkan (dengan praktik). Haji, caranya puasa, zakat. Itu
syarhun likitabillah (penjelasan terhadap Al-Qur'an).
Jadi, tidak bisa
Al-Qur’an saja. Enggak boleh. Itulah tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an
sekenanya saja. Orang menafsirkan Al-Qur’an dari terjemahnya, salah lagi.
Terjemahan itu tidak bisa merangkum ayat suci Al-Qur’an. Terjemah itu terbatas.
Ungkapan untuk mengambil pemahaman dari ayat Al-Qur’an hanya dengan terjemahan
bahasa Indonesia, tidak bisa. Rabbul ‘alamin, Tuhan semesta alam. Itu masih
kurang. Rabbul ‘alamin itu berarti sayyidul ‘alamin, malikul ‘alamin, murabbil
‘alamin; yang mengurus, yang mendidik, yang mempunyai, yang menjadi sayid
(tuannya); itu ada di situ. Alhamdu puji. Sana puji lagi. Madhu, puji lagi.
Padahal berbeda
antara al-madhu dan sana’u dan alhamdu itu berbeda. Sana’u kalau orang melihat
orang lain baik. Kalau al-hamdu itu ada yang sampai pada syukur. Kalau mendapat
kenikmatan dari orang lain, ya kita syukuri. Saya terima kasih kepadamu. Ya
pujian juga. Berarti al-madhu itu. As-sanau, berbeda lagi. Wah, ada orang hebat
banget, tampan banget, cerdas banget, itu namanya wa sana’u. Kalau al-hamdu itu
dua-duanya.
Supaya memhami
Al-Qur’an tidak jatuh pada cara memahami seperti Abdurrahman bin Muljam
bagaimana?
Ya harus belajar
tafsir. Kita tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an seenaknya sendiri. itu tafsir bi
ra’yi almadmum, tafsir dengan pikiran yang tercela. Banyak itu,
tidak menggunakan ilmu-ilmu yang spesial dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Sekenanya saja. Tafsir yang mengandalkan, menggunakan bahasa Arab saja, tak
bisa juga. Kemudian tafsir bil-hawa, tafsir dengan hawa nafsunya sendiri saja.
Sumber: NU Online
Sumber: NU Online
Write a comment
Catat Ulasan